Penggunaan media sosial pada remaja bukan lagi kebutuhan sekunder, tapi sudah masuk kebutuhan primer.
Menurut hasil analisis berbagai sumber teori emosi dan motif, penggunaan media sosial pada remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai dari kebutuhan komunikasi hingga tren.
Hal ini disebabkan oleh perubahan pola dan gaya hidup masyarakat dunia yang berimbas pada kehidupan sosial di Indonesia.
Apalagi sejak ada pandemi COVID-19, seolah dunia nyata dipaksa untuk berpindah ke dunia maya. Sehingga peran media sosial pada remaja tidak dapat dihindari.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti emosi adalah sebuah luapan perasaan yang dapat berkembang atau surut dalam jangka waktu tertentu.
Perubahan emosi dapat terjadi dalam waktu singkat. Dapat pula terjadi dalam jeda waktu yang agak panjang.
Tergantung pada kestabilan emosi seseorang. Emosi juga dimaknai sebagai reaksi psikologis dan fisiologis (seperti rasa gembira, sedih, haru, sayang, cinta), atau keberanian yang bersifat subjektif.
Baca juga:
Sehingga penilaian ketika emosi memuncak seringkali tidak bisa dijadikan sandaran atau keputusan final yang baik.
Teori emosi dan motif tidak hanya dipelajari oleh mahasiswa jurusan psikologi. Karena pembahasan mengenai komunikasi juga membutuhkan teori ini.
Apalagi dalam kehidupan sosial, siapapun yang berhubungan dengan layanan masyarakat membutuhkan pengetahuan kecerdasan emosional ini.
Meski demikian, teori emosi dan motif tidak selalu harus dipelajari di bangku kuliah formal atau melalui kursus yang diselenggarakan oleh para psikolog.
Teori ini pada dasarnya dapat dipahami melalui berbagai jurnal psikologi yang dibuat oleh para ahli dan praktisi.
Apalagi soal emosi, orang yang sering menghadapi orang lain seperti mendapat keahlian secara otodidak untuk mengenali emosi orang di sekitarnya.
Pemahaman mengenai emosi umumnya diperoleh orang yang memiliki tingkat kebijakan lebih tinggi dari orang yang diamati.
Emosi seringkali dipahami sebagai reaksi perasaan atas sesuatu yang terjadi. Ekspresi emosi dapat ditampilkan melalui wajah dan tubuh.
Seperti Anda ketika merasakan emosi kesedihan atau kebahagiaan yang berlebih dapat mengalirkan air mata, dan atau ketika marah dapat melempar barang.
Baca juga: Ciri-ciri Kondisi Psikologis Sedang Terganggu
Teori emosi dan motif berhubungan dengan tingkah laku. Emosi yang terjadi dalam diri seseorang dapat menjadi motif untuk mengambil tindakan tertentu.
Sampai saat ini belum ada satupun teori paten mengenai emosi dan motif pada manusia.
Bentuk-bentuk Motif Penggunaan Media Sosial
Motif adalah sebab melakukan sesuatu, manusia memiliki beragam motif yang subjektif untuk menganggap bahwa tindakannya benar.
Hal ini menyebabkan teori emosi dan motif pada manusia sulit diidentifikasi secara objektif. Berikut beberapa motif yang muncul dalam penggunaan media sosial:
1. Kebutuhan Komunikasi
Media sosial merupakan jejaring alternatif untuk saling terhubung antara seseorang di satu tempat dengan tempat yang lain.
Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak bisa lepas dari kebutuhan komunikasi. Maka dalam setiap kesempatan, selalu berusaha terhubung dengan orang lain.
Tentu tidak semua orang di dunia ini terhubung dalam satu jalur komunikasi.
Selalu terbentuk komunitas, circle, lingkungan atau pola yang menyatukan beberapa orang dalam satu kesatuan.
Pola tersebut dapat berbentuk hobi, pekerjaan, kecenderungan, kebutuhan, dan sebagainya.
Ajaibnya, saat ini media sosial mampu menghadirkan berbagai macam pola yang mengakomodir kebutuhan komunikasi.
Jadilah manusia milenial, terutama remaja menjadikan berbagai platform seperti WhatsApp, Instagram, Path, Facebook, Pinterest, Line, Tiktok dan lainnya sebagai sarana untuk berkomunikasi melalui internet.
2. Kebutuhan Eksistensi
Selain sebagai alat komunikasi, media sosial juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan eksistensi para remaja.
Melalui berbagai fitur yang ditawarkan oleh media sosial, Anda bebas “memamerkan” apapun yang dimiliki atau ingin diketahui oleh orang lain.
Saat melakukan perjalanan, update status dapat dilakukan. Saat ingin mendapat pertolongan, posting di komunitas tertentu bisa jadi jalan keluar.
Atau saat membutuhkan rekomendasi tempat makan terbaik di Jakarta misalnya, media sosial dan mesin pencari Google dapat menyajikan informasi yang dibutuhkan.
3. Kebutuhan Pendidikan
Tidak sedikit lembaga pendidikan baik formal dan non formal harus mengalahkan sarana transfer pengetahuan ke media sosial.
Apalagi saat pandemi seperti sekarang, para pelajar dapat mengakses materi pembelajaran melalui media sosial.
Selanjutnya, koordinasi berjalannya proses pendidikan belajar mengajar juga dilakukan melalui media sosial.
Alangkah mudahnya remaja sekarang mendapat akses untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Bahkan untuk kursus privat juga bisa melakukan pendaftaran melalui media sosial.
Pendidikan usia remaja juga sangat dipengaruhi oleh media sosial. Jika 20 tahun lalu teori emosi dan motif hanya dapat dipelajari melalui pertemuan langsung, kini sudah tidak lagi.
Justru media sosial bisa sangat membantu mengidentifikasi emosi dan motif seseorang melakukan sesuatu.
Baca juga:
4. Kebutuhan Branding
Tidak terhitung lagi, betapa banyak remaja yang menyalurkan eksistensi diri melalui media sosial, sehingga menghasilkan branding yang tidak main-main.
Sehingga profesi Youtuber, Influencer, Content Writer, Selebgram, Blogger, Buzzer dan lainnya tidak lagi asing di kalangan remaja. Bahkan penghasilannya bisa melampaui pegawai kantoran.
Baca juga:
5. Kebutuhan Tren
Anggapan bahwa media sosial diciptakan untuk memenuhi kebutuhan tren bukanlah isapan jempol.
Apapun yang saat ini trending, viral di media sosial, secara otomatis menjadi rujukan bagi tren di kehidupan nyata para remaja.
Terlepas dari benar salah atau baik buruknya tren tersebut. Inilah akar perubahan pola kehidupan remaja zaman dulu dan sekarang.
Keberadaan media sosial mampu memberikan efek sedahsyat itu bagi remaja.
Karena subjektifitas teori emosi dan motif inilah, tidak mudah memahami secara kaku perilaku manusia.
Pola tindakan dan akibat dari perasaan yang terjadi sehari-hari hanya bisa dimaknai dengan pembiasaan komunikasi.
Dalam jangka panjang teori emosi dan motif, kepekaan bisa terbentuk untuk menilai orang lain.